Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 22]
Selasa, 9 Januari 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Di dalam hadits Ubadah bin Shamit juga disebutkan bahwa bagian dari persaksian yang bisa menyelamatkan dari neraka dan memasukkan ke surga itu adalah bersaksi bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis salam adalah kalimat dari Allah yang diberikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya.

Yang dimaksud kalimat dari Allah adalah Allah menciptakan Nabi ‘Isa dengan ucapan ‘kun’ yang artinya, “Jadilah!” sebab Nabi Isa berbeda dengan manusia yang lain. Allah menciptakan beliau tanpa ayah, sementara manusia yang lain diciptakan dari ibu dan ayahnya. Begitu pula beliau adalah ruh dari-Nya maksudnya adalah ruh ciptaan Allah, bukan ruh bagian dari Dzat Allah. Keistimewaan Nabi ‘Isa diantara ruh-ruh yang lain adalah Allah ciptakan tanpa ayah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/90-91)

Di dalam hadits Ubadah bin Shamit juga disebutkan bahwa syarat untuk bisa masuk surga itu adalah mempersaksikan bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar adanya. Hal ini menunjukkan bahwa wajib mengimani adanya surga dan neraka serta hari pembalasan secara umum. Sebagaimana kita ketahui bahwa beriman kepada hari akhir adalah termasuk dari pilar keimanan.

Oleh sebab itu setiap hari kita membaca di dalam sholat surat al-Fatihah yang di dalamnya terkandung peringatan akan hari kebangkitan dan pembalasan atas amal-amal hamba yaitu dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’ yang artinya, “Yang menguasai hari pembalasan.”

Apabila selama hidup di dunia orang beramal kebaikan maka balasannya adalah kebaikan, sedangkan apabila selama hidup di dunia orang melakukan keburukan maka balasannya adalah keburukan pula. Inilah keadilan dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah tidak menciptakan manusia ini dalam keadaan sia-sia; tanpa ada perintah dan larangan. Akan tetapi Allah ciptakan mereka untuk sebuah tujuan yang mulia yaitu beribadah kepada-Nya dan menjauhi syirik.

Ingatlah Akan Ada Hari Pembalasan!

Yang dimaksud yaumud diin adalah hari pembalasan dan hisab/penghitungan. Demikian keterangan dari Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam kitabnya Min Kunuz al Qur’an al-Karim (lihat dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/151)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud yaumud diin adalah hari pembalasan yaitu hari kiamat. Ia disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itulah hamba dibalas atas segala amal perbuatan mereka (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 51)

Syaikh Shalih bin Abdillah al-‘Ushaimi hafizhahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud dengan yaumud diin itu adalah hari penghisaban dan pembalasan atas amal-amal (lihat Ma’anil Fatihah wa Qisharil Mufashshal, hal. 9)

Kata ad-diin di dalam bahasa arab bisa bermakna al-jazaa’ wal hisaab; pembalasan dan penghitungan (lihat It-haf Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 341)

Di dalam ‘maaliki yaumid diin’ terkandung iman kepada hari akhir dan iman terhadap pembalasan atas amal-amal, dan bahwasanya yang akan memberikan balasan atas amal-amal itu adalah Allah ‘azza wa jalla. Oleh sebab itu faidah yang bisa dipetik dari sini adalah dorongan untuk beramal dalam rangka menghadapi hari tersebut (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 57)

Iman kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir merupakan salah satu diantara keenam rukun iman. Sebagaimana kehidupan kita di alam dunia adalah benar maka demikian pula adanya hari akhir adalah benar dan pasti akan terjadi. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian dengan sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (al-Mu’minun : 115) (lihat Ahkam minal Qur’anil Karim, 1/27-28 karya Syaikh Utsaimin)

Termasuk dalam iman kepada hari akhir adalah mengimani tentang azab kubur. Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat…” (Ibrahim : 27).

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari al-Bara’ bin Azib radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ayat ini lalu beliau bersabda, “Ayat ini turun berkaitan dengan azab kubur.” (lihat Ahwal al-Qubur, karya Ibnu Rajab hal. 47)

Di dalam hadits dikisahkan, bahwa ketika seorang mukmin berada di alam kubur maka dia pun didudukkan lalu dia pun didatangi oleh malaikat -yang bertanya kepadanya- kemudian dia pun bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Itulah maksud dari ayat (yang artinya), “Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman, dst.” (Ibrahim : 27) (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 48)

Dalam hadits lain diceritakan, bahwa ketika itu datanglah dua malaikat dan bertanya kepadanya, ‘Siapa Rabbmu?’ dia menjawab, “Rabbku adalah Allah.” Mereka juga bertanya, ‘Apa agamamu?’ dia menjawab, “Agamaku Islam.” Lalu mereka juga bertanya, ‘Siapakah lelaki yang diutus untuk kalian?’ maka dia menjawab, “Dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang kamu ketahui?’ dia menjawab, “Aku membaca Kitabullah maka aku pun beriman kepadanya dan membenarkannya.” (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 49)

Adapun orang kafir maka dua malaikat pun datang bertanya kepadanya, ‘Siapa Rabbmu?’ lalu dia menjawab, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” Ketika dia ditanya, ‘Apa agamamu?’ dia menjawab, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” Ketika ditanya, ‘Siapakah lelaki yang diutus kepada kalian?’ dia mengatakan, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” Kemudian ada penyeru dari langit yang menyatakan, ‘Orang ini telah berdusta, maka gelarkanlah untuknya hamparan dari neraka dan sematkanlah untuknya ‘pakaian’ dari neraka, dan bukakanlah untuknya pintu menuju neraka’. Maka seketika itulah datang hawa panas yang membakar dari neraka dan disempitkanlah kuburnya sampai-sampai tulang rusuknya bergeser dari tempat-tempatnya (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 49-50) 

Dalam riwayat lain dikisahkan, bahwa Allah menciptakan untuk orang kafir itu seorang yang buta, bisu dan tuli seraya membawa sebuah palu. Seandainya palu itu dipakai untuk memukul sebuah gunung niscaya ia akan hancur menjadi debu. Maka ‘orang’ itu memukulnya sehingga dia berubah menjadi debu. Kemudian Allah memulihkan keadaannya seperti semula. Kemudian dia dipukul lagi maka dia pun menjerit dengan sekeras-kerasnya sehingga bisa didengar oleh segala makhluk selain manusia dan jin. Kemudian dibukakanlah untuknya sebuah pintu menuju neraka dan dibentangkan untuknya hamparan dari neraka (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 51) 

Dalam hadits lain riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan, bahwa orang kafir dan munafik ketika ditanyakan kepadanya, ‘Apa pendapatmu mengenai lelaki ini -Muhammad-?’ maka dia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku sekedar mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh orang-orang.” Maka dikatakanlah kepadanya, “Kamu tidaklah mengikuti orang-orang itu, walaupun kamu ikut mengucapkan apa yang mereka ucapkan.” (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 53)

Setiap orang kelak akan dibangkitkan sesuai dengan keadaannya ketika meninggal. Orang mukmin dibangkitkan di atas keimanan sedangkan orang munafik dibangkitkan di atas kemunafikannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir radhiyallahu’anhu (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 58)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk bagian keimanan kepada hari akhir adalah mengimani segala berita yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai berbagai kejadian setelah kematian. Maka mereka mengimani fitnah kubur, azab kubur dan nikmat yang ada di dalamnya.” (lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syaikh ar-Rajihi, hal. 101)

Yang dimaksud dengan fitnah/ujian di alam kubur itu adalah pertanyaan ‘Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Dan siapa nabimu?’. Ketiga pokok inilah yang dibahas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalahnya yang terkenal yaitu al-Ushul ats-Tsalatsah. Di dalamnya beliau menjelaskan tentang mengenal Allah, mengenal Islam dan mengenal nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh al-Wasithiyah, hal. 102)

Kaum Mu’tazilah telah mengingkari azab kubur dan nikmat kubur. Padahal, dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah telah membantah pemahaman mereka itu. Diantara dalil tentang azab kubur di dalam al-Qur’an adalah kisah diazabnya Fir’aun beserta para pengikutnya. Allah berfirman (yang artinya), “Neraka itu ditampakkan kepada mereka setiap pagi dan petang. Dan pada hari kiamat nanti masukkanlah para pengikut Fir’aun itu ke dalam azab yang paling keras.” (Ghafir : 46). Selain itu masih ada banyak dalil yang lain (lihat Syarh al-Wasithiyah, hal. 102-103)

Barangsiapa tidak mengimani dibangkitkannya jasad-jasad manusia kelak pada hari kiamat setelah kematian mereka maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan. Katakalah : Sekali-kali tidak, demi Rabbku. Benar-benar kalian akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian dengan apa-apa yang telah kalian kerjakan. Dan itu semuanya adalah sangat mudah bagi Allah.” (at-Taghabun : 7) (lihat Syarh al-Wasithiyah, hal. 105)

Jaga Dirimu dari Api Neraka…

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim : 6).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan takutlah kalian akan neraka yang telah disiapkan untuk orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran : 131).

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku peringatkan kalian dari neraka. Aku peringatkan kalian dari neraka.” Sampai-sampai seandainya ada orang di ujung pasar niscaya dia akan bisa mendengarnya dan orang-orang di pasar pun bisa mendengar suara beliau sementara ketika itu beliau sedang berbicara di atas mimbar (HR. Ahmad)

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah para penduduk negeri itu merasa aman apabila datang kepada mereka siksaan Kami sementara mereka dalam keadaan tidur.” (al-A’raaf : 97).

Abul Jauzaa’ berkata, “Seandainya aku diserahi urusan untuk mengatur manusia nicaya aku akan membuat menara di tepi jalan dan aku tempatkan di atasnya orang-orang untuk menyerukan kepada manusia, “Takutlah akan neraka, takutlah akan neraka.”.” (HR. Ahmad dalam az-Zuhd)

Ibrahim at-Taimi berkata, “Semestinya bagi orang yang tidak pernah merasakan kesedihan untuk merasa khawatir kalau-kalau dia termasuk penghuni neraka karena para penghuni surga berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari kami kesedihan.” (Fathir : 34). Dan semestinya orang yang tidak pernah dirundung rasa takut untuk merasa khawatir kalau-kalau dia bukan termasuk penghuni surga, karena mereka -para penghuni surga- berkata (yang artinya), “Sesungguhnya kami dahulu di tengah keluarga kami dirundung oleh rasa takut.” (ath-Thuur : 26).” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 21)

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menuturkan bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Allahumma inni a’uudzu bika min haari jahannam’ yang artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari panasnya neraka Jahannam.” (HR. Nasa’i).

Umar radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya ada yang menyeru dari langit; Sesungguhnya kalian semuanya masuk ke dalam surga kecuali satu orang, aku takut kalau-kalau satu orang itu adalah diriku.”

Sebagian ulama salaf berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan harapan saja dia adalah Murji’ah. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan takut saja dia adalah Haruriyah (Khawarij). Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja dia adalah Zindiq. Dan barangsiapa beribadah kepada-Nya dengan harapan, takut, dan cinta maka dia lah orang yang bertauhid lagi mukmin.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 25)

Menghadap Allah dengan Bekal Takwa

Takwa adalah bekal terbaik bagi umat manusia Allah berfirman (yang artinya), “Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah : 197)

Karena itulah Allah wasiatkan kepada segenap umat untuk bertakwa. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami wasiatkan kepada orang-orang yang diberikan kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian; hendaklah kalian bertakwa kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 131)

Takwa adalah jalan untuk meraih kebahagiaan dan kemudahan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah berikan kepadanya jalan keluar dan Allah berikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.” (ath-Thalaq : 2-3)

Takwa merupakan jalan untuk meraih ampunan dan pahala. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah hapuskan darinya kesalahan-kesalahannya dan Allah besarkan untuknya pahala.” (ath-Thalaq : 5)

Karena begitu pentingnya ketakwaan Allah pun memerintahkan manusia untuk bertakwa dengan sebenar-benar takwa. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian sekali-kali meninggal kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali ‘Imran : 102)

Ketakwaan tidak akan terwujud kecuali dengan tunduk kepada perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Ketakwaan akan terbentuk bersama dengan lingkungan yang mendukung. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (at-Taubah : 119)

Jalan Menuju Takwa

Untuk mewujudkan ketakwaan itu harus dilandasi dengan iman dan istiqomah. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka istiqomah maka tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih. Mereka itulah para penghuni surga mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka amalkan.” (al-Ahqaf : 13-14)

Karena itulah Allah utus segenap rasul untuk menyerukan tauhid dan melarang dari syirik. Sebab tauhid adalah pondasi ketakwaan sedangkan syirik merupakan penghancurnya. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Untuk bisa bertakwa dan bertauhid dengan benar selalu dibutuhkan ilmu dan hidayah dari Allah. Oleh sebab itulah Allah perintahkan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam -dan juga menjadi perintah bagi kita umatnya- untuk meminta tambahan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah; Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (Thaha : 114)

Tidak akan bisa terwujud rasa takut dan ketakwaan kepada Allah dengan sempurna kecuali dengan ilmu. Karena itulah Allah memuji para ulama disebabkan besarnya rasa takut mereka kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya ialah para ulama.” (Fathir : 28)

Tentu tidak sama ibadah dan ketaatan yang dilandasi dengan ilmu dengan amalan yang tidak disertai ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui/berilmu dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (az-Zumar : 9)

Takwa kepada Allah pun tidak bisa terlaksana kecuali dengan menjauhi semua langkah dan tipu daya setan. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Dan barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia memerintahkan kepada perbuatan keji dan mungkar…” (an-Nuur : 21)

Keutamaan dan Hakikat Takwa

Karena mulianya takwa inilah Allah mensifati wali-wali-Nya sebagai orang-orang yang memiliki komitmen kuat terhadap iman dan takwa. Allah berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih; yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (Yunus : 62-63)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan sebuah faidah yang penting, bahwa siapa pun yang bertakwa kepada Allah sesungguhnya dia adalah wali Allah (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/246)

Takwa itu tersimpul dalam tiga hal pokok; ketaatan, dzikir, dan syukur. Taat kepada Allah sehingga meninggalkan segala bentuk maksiat. Dzikir kepada Allah sehingga meninggalkan segala bentuk kelalaian. Dan syukur kepada Allah sehingga meninggalkan segala macam kekafiran. Demikian tafsiran takwa menurut Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abi Hatim dengan sanad sahih (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/203)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, merasa takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nur: 52)

Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Takwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya merasa takut terhadap siksaan dari Allah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/222])

Mu’adz bin Jabal ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211) 

al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211) 

Termasuk dalam cakupan takwa adalah membenarkan berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik di saat bersendirian maupun berada di tengah keramaian (lihat Fath al-Qawiy al-Matin, hal. 68)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruniai amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211) 

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) serta meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)

Ketakwaan Yang Berakar dari Dalam Hati

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketakwaan di dalam hati.” (al-Hajj: 32).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (al-Hajj: 37).

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan dari dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136).

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara seorang mukmin dengan seorang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)  

Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya- tiada kebahagiaan tanpa ketakwaan kepada-Nya, sementara takwa itu mencakup tiga tingkatan:

Pertama; Menjaga hati dan anggota tubuh dari perbuatan dosa dan keharaman. Apabila seseorang  melakukan hal ini hatinya akan tetap hidup.

Kedua; Menjaga diri dari perkara-perkara yang makruh/dibenci. Apabila seseorang melakukan hal ini hatinya akan sehat dan kuat.

Ketiga; Menjaga diri dari berlebih-lebihan -dalam perkara mubah- dan segala urusan yang tidak penting. Apabila seseorang melakukan hal ini hatinya akan diliputi dengan kegembiraan dan sejuk dalam menjalani ketaatan (lihat al-Fawa’id, hal. 34)

Demikian sedikit catatan faidah semoga bermanfaat.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-22/